Aturan Jam Malam Pelajar di Tasikmalaya: "Keluar Setelah Maghrib Bisa Diambil Makhluk Halus", Kata Wakil Wali Kota
Pemerintah Provinsi Jawa Barat baru-baru ini mengeluarkan kebijakan yang cukup menyita perhatian publik, khususnya di kalangan orang tua dan pelajar. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pada 23 Mei 2025 resmi mengeluarkan surat edaran yang berisi penerapan jam malam bagi siswa di seluruh wilayah Jawa Barat.
Aturan tersebut mengatur pembatasan aktivitas pelajar di luar rumah, khususnya pada malam hari, dimulai dari pukul 21.00 WIB hingga 04.00 WIB. Tujuannya jelas: menjaga keamanan dan kenyamanan anak-anak dari potensi bahaya, baik secara fisik maupun non-fisik.
Namun demikian, kebijakan ini menimbulkan berbagai respons dari sejumlah kepala daerah. Salah satunya datang dari Wakil Wali Kota Tasikmalaya, Diky Chandra Negara, yang menyatakan bahwa Pemerintah Kota Tasikmalaya masih akan melakukan pengkajian secara mendalam terhadap isi surat edaran tersebut.
Menurut Diky, keputusan penting seperti ini perlu melalui proses musyawarah, sebagaimana tercermin dalam Sila Keempat Pancasila. Ia menggarisbawahi pentingnya prinsip tabayun, atau klarifikasi dan dialog, sebelum mengambil langkah lebih lanjut dalam implementasinya di daerah.
"Sebagai kota yang dikenal dengan budaya santri, sudah semestinya kita mengikuti cara Rasulullah SAW, yaitu dengan cara tabayun. Ini bentuk kehati-hatian kami dalam menerapkan kebijakan yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat," ujarnya pada Selasa, 27 Mei 2025, dikutip dari DAILYZONEID.
Kearifan Lokal Jadi Pertimbangan
Menariknya, Diky juga mengangkat aspek kearifan lokal dalam mempertimbangkan pelaksanaan jam malam ini. Ia menyampaikan bahwa di masyarakat Tasikmalaya, khususnya yang masih kuat memegang tradisi Sunda, terdapat kepercayaan agar tidak keluar rumah setelah waktu Maghrib.
"Secara kearifan lokal juga ada ulah kaluar wengi tos maghrib bisi dirawu ku sanekala," kata Diky dengan menggunakan bahasa Sunda, yang berarti, "jangan keluar malam setelah Maghrib, nanti diambil makhluk halus."
Pernyataan ini tidak hanya mencerminkan budaya lokal, tetapi juga menunjukkan cara pendekatan sosial yang digunakan pemerintah untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat, khususnya anak-anak. Diky menegaskan bahwa selain demi kedisiplinan, aturan ini bertujuan untuk membangun kedekatan anak dengan keluarga, serta menjauhkan mereka dari potensi ancaman, baik yang kasat mata maupun tidak.
Pengecualian dan Ketentuan Khusus
Dalam surat edaran yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Barat, terdapat beberapa pengecualian terhadap penerapan jam malam ini. Siswa tetap diperbolehkan beraktivitas di luar rumah jika sedang mengikuti kegiatan resmi dari sekolah atau lembaga pendidikan lainnya.
Selain itu, kegiatan keagamaan dan sosial di lingkungan tempat tinggal juga diperbolehkan, selama mendapat izin dari orang tua. Situasi darurat, termasuk bencana alam atau kondisi mendesak lainnya, juga menjadi alasan yang dibolehkan, dengan syarat tetap dalam pengawasan dan sepengetahuan wali.
Peran Pemerintah Daerah
Untuk mengawal kebijakan ini agar berjalan efektif, pemerintah provinsi meminta bupati, camat, dan lurah agar aktif dalam melakukan pembinaan serta pengawasan. Pemerintah daerah diharapkan bisa menjadi penghubung antara kebijakan provinsi dengan masyarakat di tingkat akar rumput, dengan tetap memperhatikan dinamika sosial dan budaya setempat.
Wakil Wali Kota Tasikmalaya sendiri menyebut bahwa pembahasan mengenai jam malam ini akan dilakukan bersama perangkat daerah lainnya. Ia ingin memastikan bahwa aturan ini dapat diterima secara sosial dan dapat diterapkan tanpa menimbulkan kegaduhan.
Reaksi Beragam dari Masyarakat
Sementara itu, wacana penerapan jam malam ini menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat. Sebagian besar orang tua mendukung, terutama yang merasa cemas dengan anak-anak yang sering bermain di luar rumah hingga larut malam. Mereka menyambut baik adanya aturan ini karena dianggap bisa membentuk kebiasaan disiplin.
Namun, sebagian lainnya menilai bahwa kebijakan ini perlu disosialisasikan secara menyeluruh dan dijelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Pasalnya, banyak orang tua yang merasa perlu adanya kejelasan mengenai batasan, mekanisme pengecualian, serta sanksi bila aturan ini dilanggar.
“Saya setuju dengan aturan ini, asal tidak diberlakukan secara kaku. Kadang anak-anak harus ikut kegiatan keagamaan di masjid, atau sekadar ikut ronda malam bersama warga. Kalau itu dilarang, malah jadi tidak mendidik,” ujar salah satu warga Tasikmalaya kepada DAILYZONEID.
Tujuan Baik, Perlu Pendekatan Humanis
Apa pun bentuknya, kebijakan publik akan selalu membutuhkan pendekatan partisipatif dan humanis, apalagi jika menyangkut kehidupan anak-anak. Dalam hal ini, Pemerintah Kota Tasikmalaya menunjukkan kehati-hatiannya dengan tidak langsung mengambil keputusan secara sepihak. Mereka memilih untuk mendalami surat edaran tersebut sebelum diterapkan.
Dengan latar belakang sebagai kota religius yang menjunjung tinggi nilai tradisi dan agama, pendekatan seperti ini bisa menjadi contoh baik dalam menerapkan kebijakan berbasis lokalitas.
Kebijakan jam malam memang bukan hal baru di Indonesia. Sebelumnya, beberapa daerah lain seperti di Aceh juga telah menerapkan pembatasan serupa. Namun, konteks sosial dan budaya yang berbeda-beda membuat pelaksanaannya tidak bisa disamaratakan.
Dalam situasi ini, keseimbangan antara perlindungan terhadap anak dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal serta hak keluarga harus benar-benar dijaga.
Sumber: DAILY ZONE ID
Komentar
Posting Komentar