Miris! Korban Pengeroyokan Justru Dipenjara: Yanty dan Sherly Tuntut Keadilan

Yanty, korban pengeroyokan di Medan, dipenjara meski memiliki bukti visum dan saksi. Keluarga tuntut keadilan.

Medan — Sebuah ironi hukum kembali terjadi di Indonesia. Dua nama, Sherly dan Yanty, mendadak viral di media sosial setelah video mereka mendapat lebih dari 29 juta penayangan di TikTok. Video tersebut bukan sekadar hiburan viral biasa—melainkan memperlihatkan tangisan dan ketidakberdayaan keluarga korban kekerasan yang justru diperlakukan seperti pelaku.

Peristiwa ini bermula dari insiden pada 5 April 2024, di salah satu kawasan elit, Kompleks Cemara Asri, Medan. Dalam kejadian tersebut, Yanty mengalami tindak kekerasan fisik yang diduga dilakukan oleh dua orang yang dikenal dekat dengan korban. Namun yang terjadi di kemudian hari justru membuat publik tak habis pikir. Bukannya para pelaku yang diamankan, justru Yanty yang harus menjalani proses hukum hingga akhirnya mendekam di balik jeruji besi.

Setelah kasus ini viral, tim penasihat hukum dari Kantor Hukum Metro turun tangan. Mereka merasa perlu meluruskan informasi yang simpang siur di masyarakat. Jonson David Sibarani, salah satu pengacara yang kini mendampingi Yanty, menjelaskan bahwa mereka baru mengambil alih pendampingan kasus ini setelah putusan kasasi Mahkamah Agung keluar.

"Ketika keluarga Yanty datang kepada kami, perkara ini sudah inkrah. Tapi karena kejanggalannya begitu jelas, kami tidak bisa diam," ujar Jonson saat ditemui di Medan.

Menurutnya, apa yang dialami Yanty sangat bertentangan dengan prinsip keadilan. Ia menyoroti bahwa laporan yang dibuat oleh Yanty sebagai korban pengeroyokan sebelumnya sempat diproses oleh pihak kepolisian. Namun, setelah delapan bulan, penyelidikan dihentikan begitu saja. Alasannya? Pihak kepolisian menyatakan bahwa kasus tersebut tidak memenuhi unsur pidana.

"Ini sungguh membingungkan. Kami punya bukti visum, saksi yang menyaksikan langsung kejadian, dan dokumen medis yang menunjukkan bahwa klien kami mengalami luka cukup serius hingga harus dirawat di rumah sakit Bhayangkara Medan selama sembilan hari. Lalu bagaimana mungkin dikatakan bukan tindak pidana?" ujar Jonson heran.

Sementara itu, laporan balik yang dilayangkan oleh pihak terlapor terhadap Yanty justru diproses secara cepat. Dalam waktu hanya tiga hari, Yanty ditangkap oleh lima orang petugas dan langsung ditahan. Bahkan, sebelum itu, Yanty tidak pernah mendapat surat panggilan atau kesempatan untuk memberikan klarifikasi sebagai saksi.

"Prosedurnya sudah tidak sesuai. Yang lebih aneh lagi, pasal yang dikenakan kepada Yanty hanyalah pasal ringan tentang penganiayaan, tapi proses penangkapannya seperti menangkap pelaku kriminal besar," tambah Togar Lubis, SH, MH, salah satu pengacara lainnya.

Tim hukum juga menyebutkan bahwa pelaku yang dilaporkan oleh Yanty seharusnya dapat dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan yang menyebabkan luka, yang memiliki ancaman hukuman lebih berat. Namun laporan itu justru dihentikan tanpa penjelasan yang logis. Di sisi lain, laporan terhadap Yanty langsung diproses dan berujung penahanan.

Kondisi ini menuai gelombang simpati dan dukungan dari masyarakat luas. Banyak warganet menyatakan keprihatinan atas nasib Yanty yang justru menjadi korban dua kali—pertama sebagai korban kekerasan fisik, kedua sebagai korban kriminalisasi hukum.

Jonson dan rekan-rekannya kini mendesak Kapolda Sumatera Utara untuk meninjau ulang kasus ini dan segera menarik penanganan perkara dari Polrestabes Medan. Menurut mereka, kepolisian daerah harus mengambil alih agar prosesnya berjalan objektif dan transparan.

“Tujuan kami bukan untuk membela orang bersalah, tapi kami ingin agar keadilan benar-benar ditegakkan. Jika hukum bisa dibeli atau diarahkan, maka yang lemah akan terus menjadi korban,” tegas Jonson.

Kasus ini pun menjadi perhatian sejumlah organisasi dan aktivis hukum. Mereka menyuarakan keprihatinan terhadap lemahnya perlindungan hukum bagi korban, terutama jika korban berasal dari kalangan biasa dan tidak memiliki kekuatan atau akses.

Kisah Yanty dan Sherly menjadi contoh nyata bahwa sistem hukum kita masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Perlu ada pembenahan serius agar hukum benar-benar menjadi pelindung, bukan alat yang membungkam.

Untuk perkembangan terkini seputar kasus ini, kunjungi Daily Zone ID yang terus mengupdate informasi dan opini seputar isu-isu hukum, sosial, dan viral lainnya dari seluruh Indonesia.

Komentar